Saturday, 30 June 2018

Endapan Untuk Pembibitan

Selama ini, meski sudah agak lama bermain-main dengan akuaponik, masalah pembibitan selalu mengandalkan tanah, karena selain hailnya hasilnya bagus, sistem yang digunakan kebanyakan sistem pasang surut dengan media. 
Suatu hari, pas kebetulan ingin melakukan pembenihan tanaman sawi, karena kebetulan stock sayur di kebun mulai menipis, terpikir untuk mencoba alternatif lain media pembibitan. Media yang dipilih yang subur dan tidak mudah kering. Pilihan dijatuhkan ke endapan kotoran ikan, karena kebetulan saya sering mengambil endapan, sekedar untuk mengurangi supaya tidak terlalu banyak menumpuk. Tentu saja, endapan yang digunakan adalah endapan yang sudah terproses menjadi seperti pupuk, bentuknya sangat lembut dan tidak berbau. 
Endapan dari yang saya amati ada dua macam, endapan yang masih baru dan endapan yang sudah lama yang sudah terproses menjadi pupuk. Endapan baru cenderung masih berbau, jika endapan tersebut kita angkat baunya sangat menyengat. Kebetulan kolam koi terdiri dari beberapa sekat, sekat ke-3 inilah yang banyak terdapat endapan yang sudah menjadi pupuk, jadi endapan ini yang saya ambil.
Sekitar dua minggu yang lalu coba saya praktekkan, endapan diserok dengan jaring ikan yang lubangnya sangat kecil/lembut. Endapan dikumpulkan dalam wadah yang tidak berlubang Pikiran saya waktu itu memilih wadah tidak berlubang karena dalam pembenihan dari biji membutuhkan kondisi yang basah. Setelah wadah penuh, biji mulai diletakkan atau saya tempelkan di permukaan tanpa dipendam.
Selang 1-2 hari biji mulai berkecambah dan mulai dikenalkan dengan sinar matahari. Selama proses pembibitan, hanya minggu ke-2 setelah penyebaran biji, baru dilakukan penyiraman, karena selama 1 minggu pertama endapan masih basah walau air sudah berkurang banyak akibat penguapan dan juga diserap tanaman.









Selama proses pertumbuhan dari biji, semua berjalan baik, hampir semua biji tumbuh, dan ketika sudah mulai muncul daun sejati, ternyata daunnya tetap berwarna hijau, tidak ada tanda-tanda kekurangan nutrisi. Sampai usia 2 minggu tanaman terlihat subur dan siap dipindah. Kebetulan pembibitan kali ini akan ditanam di media tanah.




Dalam proses pemindahan ternyata jauh lebih mudah lagi dibandingkan dengan menggunakan media tanah. Jika menggunakan media tanah cenderung tanah akan hancur dan tersisa akar, jika dengan endapan, tinggal diambil dengan sendok, endapan dan akar menyatu sehingga tanaman jauh lebih cepat beradaptasi ketika dipindahkan. 




Mungkin coba-coba kali ini hanya untuk tanaman sawi, lain kali akan dicoba dengan tanaman lain seperti cabe, tomat, dll.

Selamat mencoba

Wana Wana

Friday, 29 June 2018

Rindu Mengolah Tanah

Sebelum mengenal akuaponik, kebun belakang dimanfaatkan untuk menanam sayuran, dengan media tanah. Sekarang, meski lebih banyak bermain dengan akuaponik, tapi masih sedikit tetap menanam dengan media tanah meski dengan wadah pot kecil dan sering tak terurus.
Lama bermain-main dengan akuaponik, rupanya rindu juga dengan kebiasaan menyiram tanaman, mencangkul, menyiangi tanaman. Harap maklum, dalam menanam sayuran dengan sistem akuaponik, aktivitas seperti menyiram, mencangkul tidak lagi dilakukan, karena dengan akuaponik yang kita lakukan hanya memberi makan ikan, dan mengontrol sistem supaya tetap lancar.
Untuk mengobati rindu kebiasaan menanam dengan media tanah, ada keinginan untuk menghidupkan lagi aktifitas itu, sekaligus untuk pembelajaran anak-anak yang kebetulan sudah mulai bisa diajak 'kerjasama'. Dan supaya dapat terwujud keinginan itu, dicoba untuk memaksimalkan lahan pekarangan yang ada.
Kebetulan pekarangan yang ada  terdiri dari dua bagian, yaitu bagian depan dan belakang. Untuk memanfaatkan bagian depan rasanya tidak mungkin, karena bagian depan sengaja  ditanami pohon besar, tujuannya untuk menyaring udara yang masuk ke rumah supaya bersih dan segar. Jalan lain adalah memanfaatkan lahan bermain di belakang yang selama ini memang tidak dimanfaatkan untuk menanam namun untuk bermain anak-anak. Supaya anak-anak tetap memiliki aktivitas bermain di luar ruangan, maka untuk mengganti lahan bermain di belakang, di depan di bawah pepohonan dibuatkan area bermain buat anak-anak, walau hanya sederhana dan dibuat sendiri he..





Depan buat bermain.

Sebelum memanfaatkan ruang bermain di lahan belakang untuk menanam sayuran, tentu harus mendapatkan persetujuan istri juga, nggak boleh egois he... Setelah disetujui, barulah dieksekusi. Lahan untuk menanam dibuat bedengan yang terdiri dari 3 kotak. Supaya bisa rapi dan tanah tidak melorot, untuk tiap bedengan dipasang pembatas dari policarbonat yang kebetulan ada bekas atap pendopo dan tak terpakai.
Meski tidak besar, tapi dengan cara ini menanam sayuran di tanah bisa terkabul he... Di lahan ini, saya dan keluarga bisa menyiram sayuran dengan gembor, mengolah tanah dengan cangkul atau 'gathul', bisa menyiangi jika lahan sudah banyak ditumbuhi rumput liar, dan masih banyak lagi.


Biar kayak di luar negri he...


3 bedeng, 1 sudah terisi, 2 lagi belum.


Yang lebih penting, meski anak-anak masih kecil, paling tidak mereka bisa melihat kebiasaan orang tuanya bercocok tanam, dengan cara inilah semakin lama mereka akan semakin tertarik, seperti pepatah yang mengatakan 'Treno Jalaran Seko kulino'. Dan pada saatnya tiba mereka mulai dilibatkan dan diberi tanggungjawab walau hanya menyiram setiap hari.

Untuk tanah, saya memanfaatkan kompos dari bank sampah daun yang sudah jadi, dicampur dengan pupuk kandang. Dengan cara ini dedaunan kering yang gugur bisa lebih bermanfaat lagi daripada harus dibuang atau dibakar. 
Semoga dengan cara ini semangat berkebun akan terus membara.... amin...

Selamat berkebun

Wana Wana

Sunday, 3 June 2018

Pare Belut/Ular Akuaponik

Setelah 2 bulan lebih tidak menulis karena pekerjaan yang banyak menyita waktu, kini setelah lebih longgar akhirnya bisa berbagi lagi tentang akuaponik. Meski pekerjaan menumpuk, di sore hari sepulang kerja, akuaponik tetap menjadi perhatian, karena bagaimanapun akuaponik menjadi aktivitas penting di keluarga kami. Walau hasilnya bukan dalam bentuk uang, tapi apa yang dihasilkan dari akuaponik sangat bermanfaat bagi keluarga, selain sayur dan lauk, kami bisa mendapatkan lingkungan yang asri, banyak oksigen yang tentu membuat lingkungan lebih sehat, dan berbagai keindahan dan keunikan semua makluk yang menjadi bagian dari akuaponik.
Postingan kali ini kami berbagi tentang pare belut atau pare ular yang kami tanam di sistem akuaponik. Awal menanam sebenarnya tidak sengaja, hanya kebetulan tetangga kami depan rumah, Ibu Eko menanam pare belut yang buahnya tinggi bergelantungan di atas pohon dan menarik perhatian kami he... Sampai akhirnya suatu hari kami lihat ada yang sudah tua dan sepertinya ada biji yang berjatuhan, dan kami meminta sebagian biji yang jatuh untuk ditanam.
Awalnya kami mencoba menanam di tanah karena kami rasa jika di akuaponik dengan buah yang besar dan panjang akan sulit. Setelah biji yang kami semai di tanah tumbuh 2 helai daun, pikiran kami berubah, kenapa tidak mencoba di akuaponik, siapa tahu bisa berbuah, karena sayuran buah yang lain juga bisa tumbuh.
Dalam menanam pare belut di akuaponik ini, sengaja kami letakkan di growbed yang besar, karena dari pengalaman, ketika menanam tanaman seperti tomat, pare, cabe jika ditanam di growbed yang ukurannya kecil meskipun itu akuaponik, pertumbuhan tanaman tidak maksimal, kemungkinan besar karena perakaran tidak bisa tumbuh maksimal. Akar yang tumbuh dan berkembang hanya akan menumpuk di wadah yang kecil dan ketika wadah sudah penuh dengan akar maka akar tidak mampu lagi untuk tumbuh dan bergerak bebas, belum lagi ruang yang semakin sesak oleh akar akan membuat oksigen menjadi banyak berkurang sehingga mengganggu pertumbuhan tanaman. 
Perkiraan kami mungkin  benar, setelah tanaman pare mulai besar, akar tanaman menjalar kemana-mana hampir seluruh sisi growbed dijangkau. 


Growbed pare belut.

Setelah umur sekitar 2 bulan, bunga mulai muncul, karena baru pertama kali melihat bunga pare belut, kami heran, kenapa bunganya sama sekali berbeda dengan pare pada umumnya, bahkan warnanya pun tidak sama, pare belut berwarna putih. Selain warna yang berbeda, bunga pare jantan juga unik, 1 tangkai bisa terdiri dari beberapa bunga, berbeda dengan bunga pare biasa, di mana 1 tangkai untuk 1 bunga. Tapi meski berbeda, tetap ada persaman. Bunga pare betina muncul setelah beberapa bunga jantan bermunculan, sama seperti pare pada umumnya.  


Bunga pare belut yang cantik.

Dari sekian bunga betina yang muncul, ternyata hanya beberapa yang akhirnya tetap tumbuh dan membesar, beberapa yang lain mengering dan gugur.


Bunga jantan, 1 tangkai beberapa bunga.


Bunga betina.

Saat pertama kali melihat buah pare yang terlihat membesar, jujur kami kagum karena ternyata bisa berbuah di akuaponik, dan ketika semakin hari semakin besar dan memanjang kami tambah kagum lagi, karena ternyata buahnya bisa begitu panjang. Bukan hanya saya (penulis) yang kagum, tapi seluruh keluarga juga merasakan hal yang sama he...


Buah pertama.


Ternyata setelah kemunculan buah pertama, beberapa minggu kemudian bermunculan buah-buah berikutnya dan mulai membesar dan panjang. 


Buahnya mulai banyak.



Perkembangan buah pare belut terbilang cepat, karena dalam 2 minggu, dari yang tadinya bakal buah sudah menjadi buah yang besar dan panjang panjang, sekitar minggu ke-3 dan buah masih 'empuk' kami petik untuk dimasak. Ada 1 buah yaitu buah perdana yang kami biarkan menua untuk kami ambil bijinya, sehingga kami tetep bisa menanam saat pohon pertama ini nanti tutup usia.

Dalam menanam pare belut ini, kami menggunakan sistem pasang surut yang dikendalikan oleh siphon apung dan media yang digunakan adalah pasir malang. Kami menanam di sistem akuaponik kolam koi, yang sudah kami bangun sejak 2015. 


Kolam koi


Si kembar siphon apung.

Demikian pengalaman kami menanam pare belut di sistem akuaponik.

Salam hijau akuaponik
Wana Wana